Laman

Selasa, 28 September 2010

Liberalisasi dan Globalisasi Perdagangan

1. Pendahuluan
    A. Latar Belakang

         Liberalisasi dan Globalisasi ekonomi sudah melanda seluruh dunia, termasuk dalam investasi asing atau
         penanaman modal asing . Liberalisasi di bidang penanaman modal asing mengalir seperti air mengikuti
         arus membidik atau mencari daerah sasaran yang paling menguntungkan. Globalisasi ekonomi telah
         meniadakan sekat - sekat batasan hubungan ekonomi internasional negara menjadi tanpa batas.

        Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, yaitu pada tahun 2020 dunia akan memasuki era perdagangan
        bebas. Hal ini ditandai dengan adanya kesepakatan pada putaran Uruguay dan terbentuknya WTO.
        Pada saat itu pula pola perdagangan bebas akan memasuki tahapan baru, yaitu dimana akan semakin
        berkurangnya hambatan perdagangan antar negara bahkan tanpa ada hambatan proteksi.

        Konsep free trade dan free competition yang didasarkan pada teori klasik yang menyatakan bahwa
       " bentuk perdagangan yang terbaik adalah apabila semua produsen dapat menghasilkan apa yang terbaik
       dan kemudian menjualnya dalam iklim persaingan yang bebas dan terbuka".

Pentingnya Perdagangan Internasional
      
       Sejak usai perang dunia kedua, saling ketergantungan antar negara semakin meningkat, terutama beberapa dekade belakangan ini. Bahkan negara - negara bekas Uni Soviet dan Republik Rakyat China yang karena alasan politis maupun militer dapat bersifat sangat self sufficient dimasa lampau. Kini mereka juga menyadari perlunya mengimport produk - produk berteknologi tinggi, modal - modal luar negeri bahkan hasil pertanian dan perkebunan. banyak negara - negara di dunia yang tidak dapat memenuhi kebutuhannya  sendiri secara efisien. Hal ini disebabkan antara lain kurangnya teknologi, modal luar negeri dan sumber daya alam yang terbatas. misalnya beberapa negara industri kecil seperti  Austria dan Swiss yang hanaya memiliki sedikit sumber daya dan memproduksi lebih sedikit jenis produksi.


LIBERALISASI DAN GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Depresi tahun 1930-an telah menyebabkan banyak negara melakukan proteksi, setiap Negara berusaha untuk mengurangi pengaruh yang tidak baik dari perkembangan ekonomi duniadengan menguragi ketergantungan dari luar negeri melalui tindakan –tindakan yang bersifat protektif.
Amerika serikat merupakan salah satu negar yang paling berpengaruh saat itu jugamelakukan proteksi dengan menggunakan tarif terhadap importnya melalui Smoot-Howley.Tindakan ini diikuti oleh negara-negara lain sehingga perdagangan bebas internasional tidakterjadi.
Sejak dasawarsa 80-an, banyak negara berkembang yang semula menerapkan strategiindustrialisasi substitusi impor, mulai mengubah haluan dan melakukan liberalisasiperdagangan. Gelombang reformasi ini nampaknya bertolak dari terjadinya krisis utanginternasional, disamping itu mereka juga bercermin pada keberhasilan sejumlah negaraberkembang yang sejak awal telah berorientasi ke luar dan berorientasi ekspor kini telahberanjak menjadi negara perekonomian baru. Secara umum reformasi itu meliputipenurunan dan penyederhanaan struktur tarif serta berbagai hambatan impor kuantitatifsecara besar-besaran. Langkah ini secara drastis mulai membuka perekonomian mereka terhadap hubungan perdagangan antar negara yang lebih intensif.Hal tersebut dapat dilihatpada besarnya angka ekspor plus impor sebagai rasio terhadap GDP dan tingginya tingkat pertumbuhan perekonomian negara tersebut yang secara sungguh-sungguh melaksanakan liberalisasi 


 DAMPAK GLOBALISASI PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Dampak Positif
`Ada beberapa keuntungan liberalisasi perdagangan internasional bagi negara-negara
berkembang berdasarkan teori pertumbuhan endogen, antara lain :
1.Liberalisasi perdagangan akan memungkinkan negara berkembang menyerap teknologinegara maju dalam kecepatan yang lebih tinggi , dengan kata lain dalam kondisi sepertiitu alih teknologi akan berlangsung lenih lancar.
2.Melalui hubungan dagang yang lebih terbuka, manfaat riset dan pengembangan yangbiasanya hanya dilakukan di negara maju (karena biayanya mahal) akan mengalir lancarke negara berkembang.
3.Volume perdagangan yang lebih tinggi akan memacu skala ekonomis dalam produksisehingga meningkatkan margin laba bagi para pengusaha di negara berkembang sertamenciptakan insentif tambahan dalam melakukan investasi.
4.Penghapusan hambatan perdagangan akan mengurangi distorsi harga yang menjuruspada pendayagunaan segenap faktor produksi secara lebih efisien di semua sektorekonomi di negara yang bersangkutan.
5.Hal itu juga akan merangsang spesialisasi lebih lanjut dan akan memacu terselenggaranya kegiatan-kegiatan produksi yang lebih efisien khususnya dalam sector produksi antara yang menjadi input bagi sektor lain.

Dampak Negatif dan Masalah-Masalah Perdagangan Negara Berkembang
Selama dasawarsa 1980-an, tingkat proteksi dagang di negara maju mengalami penigkatan,
karena perekonomian mereka sendiri mengalami kelesuan. Memasuki tahun 1993, sekitar
sepertiga ekspor negara berkembang ke negara industri maju masih dihambat oleh quota danberbagai hambatan tarif lainnya. Jika kecenderungan proteksionisme ini terus meningkat,maka kemungkinan besar sentimen negatif terhadap perdagangan atau pesimisme eksporakan bangkit kembali sehingga negara-negara berkembang akan terdorong kembali untukmenerapkan kebijakan-kebijakan ekonomi yang berorientasi ke dalam. Untuk mengatasi halitu, diadakanlah perundingan perdagangan multilateral dalam kerangka GA yang seriterakhirnya dikenal dengan Uruguay Round dimana di dalamnya telah disepakati beberapa aturan liberalisasi perdagangan internasional.
Setiap kemajuan dan perubahan, pasti selalu memiliki dampak negatif, tetapi sepanjang
dampak positifnya masih jauh lebih besar maka perubahan tersebut perlu dilaksanakan.
Dampak negatif yang mungkin dihadapi oleh negara berkembang adalah ketidak siapanindustrinya untuk bersaing atau kurangnya keunggulan komparatif yang dimiliki negaratersebut. Jika hal ini terjadi maka penduduk negara tersebut akan menjadi pangsa pasar yangempuk bagi negara lain dan perdagangan tidak akan berimbang. Tetapi hal ini tidak akanberjalan lama karena dalam jangka panjang negara tersebut juga akan  mendapatkan keuntungan setelah melalui proses seperti teori endogen di atas.
bagaimana kesiapan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan internasional
Menperindag Rini MS.Soewandi pernah menegaskan bahwa para pengusaha nasional belum siap pasar bebas itu karena ada beberapa industri yang tingkat produktifitasnya belumoptimal. Meskipun demikian katanya pemerintah Indonesia tetap mengikuti komitmen AFTA. Selain itu Indonesia juga belum secara khusus menyiapkan diri untuk menghadapi pasar bebas meskipun komitmen tentang hal itu sudah dilakukan sejak 1993 (untuk AFTA).Rini menyatakan , komitmen Indonesia yang mendukung percepatan liberalisasi perdagangan dilandasi oleh keyakinan bahwa hal tersebut akan meningkatkan perdagangandan investasi dari luar negeri sehingga dapat mendorong percepatan pemulihan ekonomi.Akan tetapi di sisi lain perdagangan bebas juga menimbulkan tantangan bagi perekonomian Indonesia terutama berkaitan dengan daya saing beberapa produk Indonesia yang belummampu bersaing dengan produk negara lain.
Lemahnya daya saing produk Indonesia disebabkan beberapa hal, antara lain.Kurang tepatnya stategi pengembangan industri nasional yang bertumpu pada pengolahansumberdaya alam, dan adanya keterbatasan sumberdaya manusia serta lemahnyapenerapan good governance.Pada hal Indonesia dengan penduduk 203.456.003 jiwa
(sensus penduduk 2000) merupakan pasar yang menggiurkan bagi sektor ril dimana angka
itu juga akan diperebutkan oleh produsen negara lain.
Menurut data Depperindag, pangsa pasar ekpor nonmigas Indonesia ke negara ASEAN masih relatif kesil yaitu 17,67% pada tahun 1996 dan naik menjadi 20,4% pada tahun 2000.Ekspor tersebut 53,31% ditujukan ke Singapura, 18,64% ke malaysia, 9,22% ke Thailan dan7,84% ke Filiphina. Sedangkan impor dari negara tersebut mencapai 9,24% tahun 1996 dan
menigkat menjadi 14,79% tahun 2000

Dari sektor industri kimia, agro dan hasil hutan setidaknya Indonesia memiliki 10 produk
unggulan dalam menghadapi AFTA.
Menurut data Ditjen IKAHH Depperindag, sekitar 37% atau 1.125 jenis produk berdayasaing cukup tinggi seperti minyak goreng sawit, the olahan, cokelat olahan, monosodiumglutamat (MSG), ikan kaleng margarine, rokok, buah kaleng, kembang gula, biskuit dankopi bubuk instan. Tingginya daya saing produk tersebut ditunjukkan oleh angka ISPyangberkisar antara 0,6 sampai 1,0, misalnya rokok kretek (1), minyak goreng sawit (0,98),dan teh olahan (0,95).
Sementara itu sekitar 282 jenis (9%) dari total jumlah komoditas IKAHH mempunyai dayasaing cukup rendah dengan ISP antara -0,5 sampai –0,99 seperti pakan ternak dan komponennya (-0,74), tepung tapioka (-0,9), tepung terigu (-0,99), minuman beralkohol (-0,74) serta susu dan produk dari susu (-0,5).
Untuk industri logam, mesin, elektronika dan aneka barang tambang (mencakup 5.291komoditi), sebanyak 2.627 jenis (49%) berdaya saing kuat, 573 jenis (11%) berdaya saing sedang dan 2.091 jenis (40%) lainnya berdaya saing lemah.
Sedangkan menurut ketua Kadin ,Aburizal Bakrie, 65% produk dalam negeri yang termasuk dalam Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dinyatakan siap bersaingdalam AFTA, seperti perikanan, produk tambang, agro industri, farmasi, mobil, motor,elektronika, sebagian besar produk manufaktur dan sebagian besar produk pertanian kecualikopi, beras dan gula. Masih menurut Kadin, sekitar 8% dari total sektor industri yang ada didalam negeri termasuk dalam kategori agak siap dalam menghadapi AFTA dan sekitar 27%
dinyatakan telah siap

KESIMPULAN DAN SARAN
Walaupun Liberalisasi dan globalisasi perdagangan mempunyai dampak negatif terhadapnegara-negara berkembang, tetapi hal itu tetap perlu dilakukan karena dalam jangka panjangdampak positifnya jauh lebih besar. Hal ini sesuai dengan teori endogen dan pengalaman negara-negera yang telah melakukan liberalisasi perdagangan tersebut, seperti Taiwan,Korea Selatan Singapura dan lain sebagainya.
Untuk kasus Indonesia. Berdasarkan data dari Depperindag dapat disimpulkan bahwa sebagian besar industri Indonesia belum siap menghadapi liberalisasi perdagangan. Tetapi menurut ketua kadin bahwa Indonesia siap menghadapi perdagangan bebas tersebut. Meskipun ada beberapa sektor industri yang mendapat “status berbeda” dari pemerintah dan swasta, akan tetapi satu hal yang pasti bahwa baik pemerintah maupun swasta sama-samamenyatakan ada beberapa sektor industri yang belum siap menghadapi liberalisasi tersebut.
Akan tetapi, bagaimanapun juga Indonesia seharusnya tetap ikut dan berusaha untuk siap dalam liberalisasi perdagangan tersebut dengan cara memperbaiki strategi pengembanganindustri nasional dan mengembangkan industri yang mempunyai keunggulan komparatifuntuk bersaing. Tentunya hal ini juga harus dibarengi dengan kebijakan fiskal (politik) dan moneter serta keamanan yang dapat menunjang semua itu